Friday, 17 March 2017

Ketika Anak Mulai Melawan.....



“anak naso tarpincang”

“anak na so umboto mangona”

“dasar anak bandel”........
Mungkin itulah respon spontan kita sebagai orangtua ketika membaca judul diatas, kita akan marah,memberi hukuman,dan pasti kita tidak terima dibangkang sebagai orang tua atau guru,ekspresi yang lumrah bila diperhadapkan dengan situasi yang demikian.....banyak orangtua/guru mengeluh soal anak yang tidak patuh, bahkan melawan kepada orangtua/guru.
Wajarkah kita marah?Wajarkah kita langsung menvonis bahwa si anak sudah mulai”kurang ajar?”.................eitts tungggu dulu....!!!!!!!!
Para orangtua umumnya hanya melihat masalahnya dari satu sisi, yaitu anak tidak patuh. Kenapa anak tidak patuh, dalam hal apa anak tidak patuh, adalah bagian yang sangat jarang dieksplorasi.
Anak-anak yang patuh adalah harapan orang tua itu sudah pasti. Sebab utamanya adalah hal itu membuat nyaman. Orangtua cukup mengatakan satu hal sekali, anak menurut. Tidak diperlukan banyak energi untuk melaksanakan sesuatu.
Tapi disatu sisi ada yang perlu kita pahami dari kasus anak yang “tidak patuh”. Anak adalah suatu individu juga, yang secara alami memiliki kehendak dan inisiatif sendiri. Bila anak hanya patuh saja, boleh jadi ia akan tumbuh jadi anak yang tak punya inisiatif dan kemauan.
Peran orangtua dalam pendidikan anak persis sama seperti saat ia mengajari anaknya naik sepeda. Di saat awal, orangtua harus memegangi sepeda anaknya, agar ia tak jatuh. Tapi pada saat yang sama, orangtua harus mendorong inisiatif dan keberanian anak.
Bahkan, anak harus didorong untuk mengambil risiko, mencoba sendiri, meski akibatnya ia jatuh dan terluka. Yang terpenting adalah, pada akhirnya anak harus dilepas untuk mengayuh sepedanya sendiri, menentukan arah jalannya.
Banyak orangtua yang gagal memahami soal yang paling fundamental dalam pendidikan anak itu. Mereka bersikap seperti komandan yang ingin semua perintahnya dipatuhi sebagai penguasa tunggal.
Bagi saya, anak tak perlu patuh pada orang tua. Orang tua itu bukan Tuhan, juga bukan dewa. Mereka manusia juga, persis seperti anaknya. Yang patut kita patuhi adalah nilai-nilai yang mengatur tata cara hidup kita. Nilai itu berupa nilai agama, aturan hukum, tata krama sosial, dan nalar.
Orangtua terikat dan wajib mematuhi nilai-nilai itu. Mendidik anak pada dasarnya adalah mengajak anak untuk patuh pada nilai itu. Ketika anak patuh pada orangtua, pada dasarnya itu adalah bagian dari kepatuhan pada nilai-nilai tadi.
Konsekuensi dari prinsip ini adalah, fondasi dari hubungan antara orangtua dan anak adalah nilai. Bila orangtua menyuruh anak dalam koridor yang dibenarkan oleh nilai, maka anak wajib patuh. Bila tidak, maka tidak perlu patuh meskipun tidak ada orangtua yang mengajarkan anaknya yang tidak-tidak
Orang tua yang memaksakan kepatuhan tidak berbasis nilai, adalah orang tua yang zalim.
Orang tua sering mengeluh, anaknya suka menjawab. Lagi-lagi keluhannya tidak menyentuh substansi. Anak yang menjawab atau “mengalus-alusi” tidak otomatis buruk.
Kemampuan untuk menjawab atau berargumentasi adalah kemampuan yang sangat penting bagi seorang manusia dewasa. Anak justru harus kita latih untuk punya kemampuan itu. Jadi, jangan bungkam anak yang suka menjawab.
Coba telusuri, apa duduk masalahnya. Kenapa anak menjawab? Apa isi jawabannya? Biarkan anak kita mengeluarkan pendapatnya. Latih dia untuk menjabarkan pendapatnya dengan cara yang mudah dipahami orang. Latih dia untuk berargumen dengan benar. Luruskan bila argumennya salah.
Tapi semua itu punya konsekuensi, bahwa kita harus adil. Kita bukan penguasa di hadapan anak. Kita dan anak adalah dua pihak yang tunduk pada nilai
Yang tak kalah penting adalah kendali emosi. Orangtua cenderung menjadi emosional secara tak terkendali saat anak melawan.
Alih-alih melaksanakan tugas sebagai pengarah sehingga anak bisa berargumentasi, orangtua sering terjebak menjadi lawan anak bertengkar. Hasilnya adalah konflik yang melukai kedua pihak.
Untuk mengindarinya, maka orangtua mutlak harus mengendalikan emosinya.
Bagaimana jika situasi ini berlaku juga di sekolah?
Peran kita sebaga orangtua di rumah dan guru di sekolah,adalah ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan,sikap kita yang terbuka dan mengendalikan emosi,serta memberikan penerangan jalan pikiran si anak.Ada energi positif yang harus kita gali dan kembangkan dari sikap sianak jangan terlalu cepat membentak,menghukum fisik dan psikis si anak,yang dibutuhkan adalah bimbingan serta pengawasan dengan memberdayakan bimbingan dan konsultasi yang ada di sekolah

No comments:

Post a Comment

Aku Bangga Menjadi Guru (sebuah refleksi diri)

Semua pekerjaan  yang halal sesungguhnya adalah profesi yang mulia. Dari sekian banyak profesi yang mulia tersebut profesi Guru adalah salah...