Thursday, 23 March 2017

"LITERASI"Saya,Anda dan Kita...(1)

 Saat penulis pernah punya kesempatan berkunjung ke Jerman(September 2016) ada banyak pengalaman yang sangat berharga yang saya dapat,disamping keindahan kota,keramah tamahan penduduk,Kemajuan teknologi tentunya,Karakter penduduk yang sudah jauh dibanding dengan karakter bangsa kita,dan masih banyak lagi yang lain.Namun satu yang membuat saya terperangah,setiap rumah penduduk yang kami kunjungi hampir semua memiliki sejenis Perpustakaan Pribadi,ada banyak buku yang berjejer di lemari"Hias" mereka.Sebuah pemandangan yang sangat kontradiktif dengan di negara saya.yang biasanya tempat memajang barang-barang unik(gelas,porselin,tak ketinggalan dengan photo-photo yang terbaik tentunya...hehehhehe) oh ya satu lagi yang sebuah budaya disana saat menunggu menunggu sesuatu/orang tidak ada kegiatan lain,selain membaca,sambil mendengarkan musik lewat headset di telinga,mereka asik tanpa dinganggu atau merasa menggangu yang lain.
Menarik untuk dibahas budaya mereka yang rajin untuk membaca,Pemerintah melalui kementerian Pendidikan meluncurkan program Gerakan Literasi Sekolah.Mengapa dikatakan sebuah gerakan?mungkin untuk memberdayakan seluruh komponen  lintas umur,dari SD sampai Universitas dan bahkan ke lingkungan masyarakat,dalam scope kecil di lingkungan sekolah.Berbagai upaya sudah mulai dilaksanakan begitu Gerakan ini diluncurkan pada tahun 2015.Sekolah mulai menerapkan gerakan membaca 15 menit sebelum PBM dimulai di pagi hari,ada juga yang menjadwalkan kegiatan membaca senyap satu hari selama 30 menit,ditambah 15 menit untuk memaparkan tentang apa yang sudah dibaca selama 30 menit pertama(Metode ini sudah terlaksana di SMP Negeri 1 Pangaribuan).Tidak hanya sekolah yang tergerak dengan kegiatan positif ini,komponen lain yang ikut peduli adalah Usaid Prioritas district Tapanuli Utara dibawah kordinator Adi M Sinaga,kelompok kecil ini sudah rutin melaksanakan Kegiatan Gelar Baca di pusat kota Tarutung setiap hari Minggu pagi dan akan menyebarkan kegiatan yang sama di kecamatan lain di TAPUT,dan kerjasama dengan Perpusda setempat,dan mungkin akan muncul gerakan-gerakan lain untuk menyokong program literasi ini.
Mendikbud melalui pernyataan di runnnig text metro TV pada Rabu(22 Maret 2017) menyatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sudah tertinggal 4 tahun dibanding dengan negara lain.Bila membandingkan dengan negara Jerman yang saya kunjungi,itu mungkin ada benarnya,hal ini terlihat dari budaya baca yang ada dimasyarakat disana,Ketika kami menelusuri Rhine River dengan keindahan dan kebersihan sungai nan besar tersebut,disisi kiri dan kanan sungai yang membelah kota itu tersedia jejeran kursi besi dibawah pohon rindang dan yang membuat saya terkagum-kagum adalah ada beberapa buah lemari kaca yang didalamnya ada banyak jenis buku,pengunjung dipersilahkan untuk mengambil buku yang disukai untukdibaca di tempat yang sudah disediakan,mereka bebas memilih mana yang ingin disukai,setelah siap dibaca atau ingin meninggalkan tempat tersebut dengan kesadaran dan kejujuran,bukunya dikembalikan ke tempat semula,sebuah budaya yang menurut saya sungguh luar biasa,budaya baca terlaksana dan satu hal yang tak kalah menarik adalah budaya jujur(karakter yang mumpuni).Saya melihat bahwa yang duduk dan membaca disana terdiri dari semua umur,dari anak-anak,dewasa sampai dengan orangtua yang sudah uzur(sempat saya ingin ambil poto seorang bapak tuamungkin sudah berusia 80 tahun,namun segera dilarang pak Ralf karena tradisi diluar sana,sebelum kita mengambil poto seseorang,harus minta ijin dulu.....hehehehe maaf pak kebiasaan di kampung kami)
Yang ingin saya ceritakan lewat tulisan ini adalah betapa pentingnya Gerakan Literasi ini ditumbuhkan mulai dari usia dini(usia sekolah)untuk mengejar ketertingalan kita dibanding dengan negar lain,kita menyadari bahwa Literasi(dalam hal ini membaca)merupakan induk dari segala ilmu pengetahuan,tanpa membaca mustahil ilmu yang lain dapat diserap.dengan banyak membaca,maka dipastikan banyak ilmu yang didapat..........(bersambung.....)

Monday, 20 March 2017

APA YANG BERHARGA...????




Membaca judul diatas sepertinya sebuah pertanyaan yang konyol,kenapa?karena jawabanya banyak dan pasti beragam.Ketika kita tanyakan ini kepada orang yang masih ngontrak rumah,maka jawabanya adalah Rumah,pertanyaan ini tidak begitu berarti bagi yang sudah punya lebih dari rumah,ketika kita tanyakan lagi kepada orang yang belum punya mobil,jawabanya mobil,tapi sebaliknya tidak untuk yang sudah punya mobil lebih dari satu.Sebuah pertanyaan yang memungkinkan banyak dan begaram jawaban,tergantung kepada pribadi masing-masing.

Nah,pertanyaan yang sama bila kita tanyakan kepada orang yang memiliki visi kemajuan ke depan,maka jawabanya pasti bukan emas,rumah,mobil,investasi dan lain-lain yang dapat dinilai beradasarkan rupiah,tapi jawabanya adalah si ANAK.
Terkadang kita sebagai orangtua atau bahkan anak sendiri tidak menyadari bahwa dirinya begitu berharga ,melebihi emas ,permata rumah atau hal lain yang terukur dengan uang(Money-value).saking tidak menyadari hal penting itu,mereka(dalam hal ini anak-anak)terlena dengan kegiatan yang kurang bermafaat sesuai umur mereka.terlalu banyak waktu untuk bermain,menggunakan kemajuan IT untuk hal-hal yang kurang positif,berkelahi,main judi dan bahkan kepada hal-hal yang berbahaya menggunakan obat-obat terlarang dan gaya hidup bebas...sungguh sebuah ironi ,disaat sebuah generasi yang diharapkan menjadi generasi emas,malah menjadi generasi yang lemas..
Di lembaga pendidikan,Anak(siswa) adalah sesuatu yang berharga dan sangat berharga,saking berharganya ada budget yang besar yang harus dibayarkan oleh pemerintah.Melalui lembaga pendidikan diharapkan akan dapat membentuk manusia yang sejatinya,sejatinya bermamfaat dan berharga dimasas depan.Maju mundurnya sebuah peradaban bangsa sangat ditentukan oleh kemajuan para generasi muda-nya.Dengan memfasilitasi dunia pendidikan  diharapkan akan menelorkan generasi emas,generasi berlian yang berharga dimasa yang akan datang......
Namun kembali sebuah ironi dihadapi oleh para unjuk tombak pendidikan di sekolah,masih ada siswa yang belkum menyadari hal ini,belum menyadari bahwa ternyata dirinya merupakan suatu aset yang berharga dimata keluarga,masyarakat,gereja dan bangsa.Sudah seharusnya para pelajar atau generasi muda menyadari ini,menyadari bahwa ternyata apapun mereka sekarang,bagaimanapun ekonomi orangtua mereka,pengetahuan mereka,harus segera sadar bahwa kelak mereka yang berdiri di garda terdepan keluarga mereka,barisan terdepan di tengah masyarakat,gereja dan pemimpin dimasa mendatang,bila tidak segera mereka menyadari hal ini....maka sebuah prahara bencana kepemimpinan sudah menunggu di depan.....Anak Didik kami sadarlah.....................

Friday, 17 March 2017

Ketika Anak Mulai Melawan.....



“anak naso tarpincang”

“anak na so umboto mangona”

“dasar anak bandel”........
Mungkin itulah respon spontan kita sebagai orangtua ketika membaca judul diatas, kita akan marah,memberi hukuman,dan pasti kita tidak terima dibangkang sebagai orang tua atau guru,ekspresi yang lumrah bila diperhadapkan dengan situasi yang demikian.....banyak orangtua/guru mengeluh soal anak yang tidak patuh, bahkan melawan kepada orangtua/guru.
Wajarkah kita marah?Wajarkah kita langsung menvonis bahwa si anak sudah mulai”kurang ajar?”.................eitts tungggu dulu....!!!!!!!!
Para orangtua umumnya hanya melihat masalahnya dari satu sisi, yaitu anak tidak patuh. Kenapa anak tidak patuh, dalam hal apa anak tidak patuh, adalah bagian yang sangat jarang dieksplorasi.
Anak-anak yang patuh adalah harapan orang tua itu sudah pasti. Sebab utamanya adalah hal itu membuat nyaman. Orangtua cukup mengatakan satu hal sekali, anak menurut. Tidak diperlukan banyak energi untuk melaksanakan sesuatu.
Tapi disatu sisi ada yang perlu kita pahami dari kasus anak yang “tidak patuh”. Anak adalah suatu individu juga, yang secara alami memiliki kehendak dan inisiatif sendiri. Bila anak hanya patuh saja, boleh jadi ia akan tumbuh jadi anak yang tak punya inisiatif dan kemauan.
Peran orangtua dalam pendidikan anak persis sama seperti saat ia mengajari anaknya naik sepeda. Di saat awal, orangtua harus memegangi sepeda anaknya, agar ia tak jatuh. Tapi pada saat yang sama, orangtua harus mendorong inisiatif dan keberanian anak.
Bahkan, anak harus didorong untuk mengambil risiko, mencoba sendiri, meski akibatnya ia jatuh dan terluka. Yang terpenting adalah, pada akhirnya anak harus dilepas untuk mengayuh sepedanya sendiri, menentukan arah jalannya.
Banyak orangtua yang gagal memahami soal yang paling fundamental dalam pendidikan anak itu. Mereka bersikap seperti komandan yang ingin semua perintahnya dipatuhi sebagai penguasa tunggal.
Bagi saya, anak tak perlu patuh pada orang tua. Orang tua itu bukan Tuhan, juga bukan dewa. Mereka manusia juga, persis seperti anaknya. Yang patut kita patuhi adalah nilai-nilai yang mengatur tata cara hidup kita. Nilai itu berupa nilai agama, aturan hukum, tata krama sosial, dan nalar.
Orangtua terikat dan wajib mematuhi nilai-nilai itu. Mendidik anak pada dasarnya adalah mengajak anak untuk patuh pada nilai itu. Ketika anak patuh pada orangtua, pada dasarnya itu adalah bagian dari kepatuhan pada nilai-nilai tadi.
Konsekuensi dari prinsip ini adalah, fondasi dari hubungan antara orangtua dan anak adalah nilai. Bila orangtua menyuruh anak dalam koridor yang dibenarkan oleh nilai, maka anak wajib patuh. Bila tidak, maka tidak perlu patuh meskipun tidak ada orangtua yang mengajarkan anaknya yang tidak-tidak
Orang tua yang memaksakan kepatuhan tidak berbasis nilai, adalah orang tua yang zalim.
Orang tua sering mengeluh, anaknya suka menjawab. Lagi-lagi keluhannya tidak menyentuh substansi. Anak yang menjawab atau “mengalus-alusi” tidak otomatis buruk.
Kemampuan untuk menjawab atau berargumentasi adalah kemampuan yang sangat penting bagi seorang manusia dewasa. Anak justru harus kita latih untuk punya kemampuan itu. Jadi, jangan bungkam anak yang suka menjawab.
Coba telusuri, apa duduk masalahnya. Kenapa anak menjawab? Apa isi jawabannya? Biarkan anak kita mengeluarkan pendapatnya. Latih dia untuk menjabarkan pendapatnya dengan cara yang mudah dipahami orang. Latih dia untuk berargumen dengan benar. Luruskan bila argumennya salah.
Tapi semua itu punya konsekuensi, bahwa kita harus adil. Kita bukan penguasa di hadapan anak. Kita dan anak adalah dua pihak yang tunduk pada nilai
Yang tak kalah penting adalah kendali emosi. Orangtua cenderung menjadi emosional secara tak terkendali saat anak melawan.
Alih-alih melaksanakan tugas sebagai pengarah sehingga anak bisa berargumentasi, orangtua sering terjebak menjadi lawan anak bertengkar. Hasilnya adalah konflik yang melukai kedua pihak.
Untuk mengindarinya, maka orangtua mutlak harus mengendalikan emosinya.
Bagaimana jika situasi ini berlaku juga di sekolah?
Peran kita sebaga orangtua di rumah dan guru di sekolah,adalah ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan,sikap kita yang terbuka dan mengendalikan emosi,serta memberikan penerangan jalan pikiran si anak.Ada energi positif yang harus kita gali dan kembangkan dari sikap sianak jangan terlalu cepat membentak,menghukum fisik dan psikis si anak,yang dibutuhkan adalah bimbingan serta pengawasan dengan memberdayakan bimbingan dan konsultasi yang ada di sekolah

Aku Bangga Menjadi Guru (sebuah refleksi diri)

Semua pekerjaan  yang halal sesungguhnya adalah profesi yang mulia. Dari sekian banyak profesi yang mulia tersebut profesi Guru adalah salah...